Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU; Dukungan KH Kholil
Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy’ari
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat
penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab
Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil
(Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme
Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut
Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai
Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih
ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH.
Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada
Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim
diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai
Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga
menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab,
Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya
NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim.
Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan
dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah
wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan
yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini,
Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah,
banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat
dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari
forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di
Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini
dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap
gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang
praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi
Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu
meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama
pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai
Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan
yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia
mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang
guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang
berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang
santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad
Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan
berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,”
jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat
berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan
surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu,
hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan
aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang
lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu
dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap
dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan
mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu,
niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang
lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil
memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke
Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui
Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan
kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di
sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu
teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai
Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad
merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai
Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh
Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya
menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh
perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa.
Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa
masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!”
jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan
merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak
keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan
Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan.
Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta
merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu
bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan
yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai
Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai
Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk
menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat
ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa
menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab
langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama
penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie
tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk
berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya
berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau
butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat
sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup
lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan
tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung
lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang
erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga
berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman
Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai,
saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil
menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya
Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian
tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang
diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih
memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan
bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak
terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki
arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak
bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama,
tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa
dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini
biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan
musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu,
tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian,
sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang
diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H,
“jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama
(NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang
diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat
lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar
bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap
Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini
sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk
meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar
lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai
Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai
Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,”
papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama,
Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan
sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain
itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya
dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat
pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
Bapak Spiritual
Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses
pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran
lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu
peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar,
Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal
Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat,
konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada
Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan
kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang
tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu
pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya.
Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat
ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn
Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak
dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki
otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih
Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep
kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh
at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan
kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang
mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab
Shahih Bukhari.
Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah
kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah
seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai
Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih
Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya
itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini
merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan
integritas Kiai Hasyim.
Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits,
Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran
tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya
gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al
Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati
apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim
juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah
menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim
memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa
kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang
membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang
tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas
salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia
membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai
Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga
bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar,
2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi
yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal
dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian
kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang
perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang
mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di
kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai
Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit,
mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu a’lam.
Post a Comment
Terima Kasih telah memberikan komentar pada Artikel ini.
Semoga Bermanfaat